Pengikut

Rabu, 03 Oktober 2018

Bahan Soal Analisis (Studi Kasus)


Kemiskinan dan urbanisasi

Hasil survei kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin per Maret 2016 mencapai 28,01 juta jiwa atau 10,86% dari total penduduk Indonesia. Namun jumlah penduduk miskin di desa hampir dua kali lipat penduduk miskin di kota, yakni 10,34 juta jiwa di kota dan 17,67 juta jiwa di desa.
Di tengah angka kemiskinan yang masih tinggi, jutaan orang desa berimigrasi ke sejumlah kota besar di Tanah Air pasca-Lebaran. Mereka meninggalkan desa –sentra pembangunan kedaulatan pangan– karena sektor pertanian pangan sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Perpindahan mereka, lazim disebut urbanisasi, sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Ketika kehidupan kian pahit di desa dan sebaliknya kota menjanjikan yang lebih manis, dipastikan kota banjir pendatang baru dari desa.
Masyarakat berharap menjelang dua tahun pemerintahan Jokowi-JK arus urbanisasi harus berkurang secara signifikan. Saat kampanye pilpres, Jokowi-JK menjanjikan kepada rakyat peningkatan kesejahteraan lewat program menarik seperti Poros Maritim, Nawacita, dan Trisakti.
Dari sembilan butir Nawacita setidaknya empat butir bersentuhan langsung dengan politik “kedaulatan” pangan, yakni butir 3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit; dan butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik.
Program membangun dari pinggiran belum menunjukkan hasil sesuai harapan. Padahal pemerintah telah menggelontorkan banyak dana untuk menggerakkan mesin pembangunan daerah. Dana transfer daerah ditambah dana desa total mencapai Rp 770 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 2.000 triliun.
Solusi urbanisasi belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, yakni kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan besarnya kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota mendorong arus urbanisasi semakin sulit dibendung dan jumlah kaum urban bertambah signifikan tiap tahun.
Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di Indonesia masih tetap tinggi meski pemerintah acap menyebut angka kemiskinan menurun setiap tahun. Dalam dua tahun terakhir, pemerintahan Jokowi-JK belum mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Saat Kabinet Kerja mengawali roda pemerintahannya 2014, angka kemiskinan nasional bertengger pada posisi 27,72 juta jiwa. Padahal kemampuan anggaran negara sangat besar untuk memberi energi pengurangan angka kemiskinan.

Percepatan pembangunan desa
Rapor merah pemerintah dalam mengatrol tingkat pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan prestasi negara lain. Tiongkok, sebagai serpihan contoh, pemerintahnya mempunyai rekam jejak yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank Dunia (2005) menunjukkan penduduk China dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari sebesar 36,3%. Jurus jitu pemerintah negara tirai bambu ini dalam memerangi kemiskinan ialah dengan menggenjot percepatan pembangunan pertanian dan kedaulatan pangan yang melibatkan penduduk miskin di pedesaan.
Pemerintah harus segera melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat jurus baru kebangkitan kedaulatan pangan. Data terkini menyebutkan kontribusi makanan terhadap garis kemiskinan masih amat besar. Sekitar tiga perempat pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk pembelian makanan. Implikasinya, jika masyarakat miskin bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun, jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami proses pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong harga makanan kian mahal.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, inflasi bahan makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa, sebagian besar mereka adalah buruh tani yang sayangnya memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan membeli. Ironis! Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka tidak mandiri.
Pertanyaannya, adakah yang salah dengan pembangunan desa di negeri agraris ini? Mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap memiskinkan petani di desa? Di tengah usia kemerdekaan sudah 71 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani dan mereka harus bereksodus ke kota untuk mengais rezeki. Dalam periode 10 tahun belakangan ini, jumlah petani gurem berkurang hampir 5,0 juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari sektor pertanian karena terpaksa mengingat pertanian tak lagi menjanjikan perbaikan penghidupan. Petani lokal di desa termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat makin rapuh.
Indonesia dibanjiri daging sapi impor, ikan impor, buah impor, beras impor, jagung impor, bawang impor dan pangan impor lainnya. Kita terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75% dari kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor dan devisa negara terkuras ratusan triliun rupiah setiap tahun untuk mengimpor kebutuhan dasar ini. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun sejumlah pabrik pupuk dan industri benih unggul di Tanah Air.
Oleh karena itu, Gerakan Kebangkitan Desa sebagai wujud paradigma baru pembangunan pertanian patut menjadi kampanye nasional lima tahun ke depan untuk mendorong percepatan pembangunan desa. Gerakan ini harus terus disuarakan ke seluruh provinsi dan kota sebagai model pembangunan berbasis kerakyatan. Gerakan yang bertujuan mengerem laju urbanisasi ini harus diiringi dengan sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.

(Sumber: http://analisis.kontan.co.id/news/kemiskinan-dan-urbanisasi diakses pada 01/07/2018 pukul 21.43)

Bahan Soal Analisis (Studi Kasus)

Kemiskinan dan urbanisasi Hasil survei kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin per Maret 2016 menc...