Kemiskinan dan urbanisasi
Hasil survei kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan jumlah penduduk miskin per Maret 2016 mencapai 28,01 juta jiwa atau
10,86% dari total penduduk Indonesia. Namun jumlah penduduk miskin di desa
hampir dua kali lipat penduduk miskin di kota, yakni 10,34 juta jiwa di kota
dan 17,67 juta jiwa di desa.
Di tengah angka kemiskinan yang masih tinggi,
jutaan orang desa berimigrasi ke sejumlah kota besar di Tanah Air
pasca-Lebaran. Mereka meninggalkan desa –sentra pembangunan kedaulatan pangan–
karena sektor pertanian pangan sulit diandalkan untuk sandaran hidup.
Perpindahan mereka, lazim disebut urbanisasi, sejalan dengan peribahasa ada
gula ada semut. Ketika kehidupan kian pahit di desa dan sebaliknya kota
menjanjikan yang lebih manis, dipastikan kota banjir pendatang baru dari desa.
Masyarakat berharap menjelang dua tahun
pemerintahan Jokowi-JK arus urbanisasi harus berkurang secara signifikan. Saat
kampanye pilpres, Jokowi-JK menjanjikan kepada rakyat peningkatan kesejahteraan
lewat program menarik seperti Poros Maritim, Nawacita, dan Trisakti.
Dari sembilan butir Nawacita setidaknya empat butir
bersentuhan langsung dengan politik “kedaulatan” pangan, yakni butir 3:
Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa;
butir 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa
Indonesia bisa maju dan bangkit; dan butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi
dengan menggerakkan ekonomi domestik.
Program membangun dari pinggiran belum menunjukkan
hasil sesuai harapan. Padahal pemerintah telah menggelontorkan banyak dana
untuk menggerakkan mesin pembangunan daerah. Dana transfer daerah ditambah dana
desa total mencapai Rp 770 triliun dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Rp 2.000 triliun.
Solusi urbanisasi belum menyentuh akar masalah yang
sesungguhnya, yakni kemiskinan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan di desa dan
besarnya kesenjangan tingkat pendapatan antara warga desa dan kota mendorong
arus urbanisasi semakin sulit dibendung dan jumlah kaum urban bertambah
signifikan tiap tahun.
Jumlah warga miskin dan berpotensi untuk miskin di
Indonesia masih tetap tinggi meski pemerintah acap menyebut angka kemiskinan
menurun setiap tahun. Dalam dua tahun terakhir, pemerintahan Jokowi-JK belum
mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Saat Kabinet Kerja
mengawali roda pemerintahannya 2014, angka kemiskinan nasional bertengger pada
posisi 27,72 juta jiwa. Padahal kemampuan anggaran negara sangat besar untuk
memberi energi pengurangan angka kemiskinan.
Percepatan pembangunan desa
Rapor merah pemerintah dalam mengatrol tingkat
pendapatan masyarakat desa semakin terang benderang jika disandingkan dengan
prestasi negara lain. Tiongkok, sebagai serpihan contoh, pemerintahnya
mempunyai rekam jejak yang baik dalam penurunan angka kemiskinan. Data Bank
Dunia (2005) menunjukkan penduduk China dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per
hari sebesar 36,3%. Jurus jitu pemerintah negara tirai bambu ini dalam
memerangi kemiskinan ialah dengan menggenjot percepatan pembangunan pertanian
dan kedaulatan pangan yang melibatkan penduduk miskin di pedesaan.
Pemerintah
harus segera melakukan koreksi kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan lewat
jurus baru kebangkitan kedaulatan pangan. Data terkini menyebutkan kontribusi
makanan terhadap garis kemiskinan masih amat besar. Sekitar tiga perempat
pengeluaran orang miskin masih dialokasikan untuk pembelian makanan.
Implikasinya, jika masyarakat miskin bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan
keluarga, sudah pasti mereka dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Namun,
jika harus membeli, apalagi sumbernya dari impor, mereka akan mengalami proses
pemiskinan yang lebih buruk di tengah inflasi tinggi yang didorong harga
makanan kian mahal.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, inflasi bahan
makanan relatif sangat tinggi. Warga miskin, meski hampir 65% tinggal di desa,
sebagian besar mereka adalah buruh tani yang sayangnya memenuhi kebutuhan bahan
pangan dengan membeli. Ironis! Bermukim di sentra-sentra pertanian, namun untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka tidak mandiri.
Pertanyaannya, adakah yang salah dengan pembangunan
desa di negeri agraris ini? Mengapa kebijakan pembangunan pertanian tetap
memiskinkan petani di desa? Di tengah usia kemerdekaan sudah 71 tahun,
pemerintah masih gagal menyejahterakan petani dan mereka harus bereksodus ke
kota untuk mengais rezeki. Dalam periode 10 tahun belakangan ini, jumlah petani
gurem berkurang hampir 5,0 juta rumah tangga (BPS, 2013). Mereka keluar dari
sektor pertanian karena terpaksa mengingat pertanian tak lagi menjanjikan
perbaikan penghidupan. Petani lokal di desa termarginalisasi digilas roda
pembangunan hedonis kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis,
yakni ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat makin rapuh.
Indonesia dibanjiri daging sapi impor, ikan impor,
buah impor, beras impor, jagung impor, bawang impor dan pangan impor lainnya.
Kita terjebak dalam ruang dan sistem pangan impor yang amat mahal. Hampir 75%
dari kebutuhan pangan di dalam negeri kini dipenuhi dari impor dan devisa
negara terkuras ratusan triliun rupiah setiap tahun untuk mengimpor kebutuhan
dasar ini. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun
sejumlah pabrik pupuk dan industri benih unggul di Tanah Air.
Oleh karena itu, Gerakan Kebangkitan Desa sebagai
wujud paradigma baru pembangunan pertanian patut menjadi kampanye nasional lima
tahun ke depan untuk mendorong percepatan pembangunan desa. Gerakan ini harus
terus disuarakan ke seluruh provinsi dan kota sebagai model pembangunan
berbasis kerakyatan. Gerakan yang bertujuan mengerem laju urbanisasi ini harus
diiringi dengan sinergi kebijakan yang diformat secara komprehensif dan
terintegrasi dari semua pemangku kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar